Sebutlah namaku sebelum tidur

September 30, 2012

Betapa rinduku padamu Risma, bagaikan malam yang datang, lalu hendak mengoyak tirai pagi. Sepertinya aku ingin menggapaimu dan memelukmu erat dalam kerinduan. Aku tak pernah letih menangis dalam penantian yang panjang...

Bagaikan telaga bening yang terkuras habis airnya. Tapi dimana kini kau berada. Aku telah mencarimu hingga keujung dunia, namun aku gagal menemukanmu.

Aku tak tahu dimana kakikmu kini berpijak. Dibelahan bumi mana kini hutan rimbamu. Apakah dirimu telah melupakan semua janji-janji kita ? Sebuah tanya yang tak kan pernah terjawab olehku.

Dirimu hanya tinggal nama. Angan dalam kenangan yang tak pernah usai. walau namamu hanya terangkai dari dua suku kata, tapi sangat manis saat kukenang dan kusebut.

Hitam putih fotomu
Dalam album kenangan
Kusimpan selalu
Ku kenang kembali kala rindu

Dalam kebisuan malam seperti ini di kamarku, dirimu tak pernah luput dalam ingatan. Jika lahir sebuah kebosanan, aku berlari keluar menatap bulan yang sedang bersinar. Kubayangkan wajahmu, bagai bulan purnama. Tapi sayang bulan tak selamanya bersinar, Jika tidak ada sinar rembulan, hanya kegelapan malam yang tampak.

Aku tak habis pikir, dimana kita bisa merajut cinta, sedangkan kita saling berjauhan, tidak pernah bertemu muka sekalipun, karena dibatasi oleh bentangan laut yang begitu luas.

Aku sangat berbahagia mendapatkan seorang kekasih yang mau berkorban demi cintanya padaku. Awal perkenalan kita sangat sederhana, hanya karena ketertarikanmu terhadap tulisanku yang selalu aku share pada catatan situs sosial kala itu; dimana kita sama-sama menjadi anggotanya.

Dirimu sangat mengagumi salah satu tulisan yang aku share yaitu sebuah kisah pilu dari seorang penulis seperti diriku yang bernasib kurang beruntung. Seorang penulis cacat jasmani. Tak dapat berjalan dengan sempurna tanpa ditopang kruk penyangga tubuh, karena kaki kanannya patah akibat kecelakaan lalu lintas.

Aku masih ingat ketika itu,  melalui telepon genggam, kamu mengatakan dengan jujur bahwa seusai membaca tulisanku, dirimu menangis larut dalam kesedihan. Awalnya aku tak yakin, mana mungkin kamu percaya pada cerita kisah imajinasi fiksi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya...?

Tapi kamu bersumpah, "demi Tuhan aku tidak berbohong", begitu katamu. Akupun percaya, karena naluri seorang perempuan  umumnya tak dapat membohongi kata hatinya, sangat sensitif; dan akan larut jika mendengar kisah pilu...

Malam semakin membelam menggapai larutnya. Tiba-tiba isyarat pesan singkat dari balik HP-ku terdengar mengusik lamunan sepiku.

You Might Also Like

0 Comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu posting
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Flickr Images